Monday, April 23, 2018

MENULIS ITU PROSES, PROSES MENJADI MANUSIA.

  annibros2       Monday, April 23, 2018
MENULIS ITU PROSES, PROSES MENJADI MANUSIA.



Hasan Tarowan

Seperti diseret waktu. Tidak terasa sudah hampir tiga bulan saya ada di rumah. Tanpa kegiatan yang pasti dan terencana. Bahkan untuk sekedar membaca diri saya sendiri, merenung, atau sekedar menulis tetes-tetes embun yang jatuh satu-satu sebagai puisi. Sebab itulah, setiap kali memiliki kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan banyak orang, saya selalu menyiapkan kertas kosong dalam tiap-tiap melakukan perjalanan pikiran. Menata konsep sekaligus membuat peta-peta untuk yang masih samar. Karena perjalanan adalah upaya lain menemukan makna kehidupan.

Saya dari awal berusaha menjadi pendengar yang baik, karena kedatangan saya adalah untuk belajar, menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Biar pun sesekali, kalau tidak mau dikatakan ditodong secara paksa, saya juga diminta mengemukakan pendapat. Sore itu sedikit mendung, kebanyakan peserta adalah laki-laki, berjejalan, memenuhi setiap ruang. Sejauh aku melihat, dalam pandanganku yang terbatas, tikar-tikar di sisi kiri saya, dipenuhi oleh laki-laki. Sedikit perempuan yang nampak menonjol. Mereka bagai tenggelam dalam wajah-wajah dan rambut kusam khas laki-laki. Di setiap barisan paling depan, nampak wajah-wajah yang rela meluruskan pandangannya, penuh keingintahuan, menyimak Hidayat Raharja yang terlihat santai dalam menyampaikan materi, namun begitu hidup. Dari sosok laki-laki yang sudah beruban itu, tawa bisa meledak ke seisi ruangan. Dengan ketuaannya, Hidayat Raharja berhasil memukau kami. Ya, jika dibandingkan dengan kami, kami merupakan pemuda yang tidak memiliki gairah- semangat hidup.

Memuliakan manusia dan menghargai kembali tulisan, itulah yang saya pikirkan saat bergerak keluar dari Pendopo, tempat kelas menulis berlangsung. khidmat dan begitu bergairah. Menyenangkan sekaligus menenangkan.

Seisi kepala seakan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang saling berdesakan dan nyaris sewarna. Bagaimana supaya kita, sebagai manusia, bisa menumbuhkan rasa belas kasihan, memberi perhatian atau mengurangi penderitaan orang lain? Dalam artian lebih luas, sejauh mana seseorang mau berempati? Tentu kita harus melakukan perenungan. Pertanyaan-pertanyaan itu hadir kerena disebabkan pernyataan Hidayat Raharja (penulis kawakan yang gemar menggambar) dalam (forum diskusi) kelas menulis. Baginya, menulis merupakan sebuah proses, proses menjadi manusia. Suatu proses untuk merenungkan berbagai kejadian yang dialami agar bisa memahami makna atas kejadian atau peristiwa.

Tentu, Hidayat Raharja tidak mungkin serta-merta sampai pada kesimpulan bahwa menulis adalah (upaya lain) proses menjadi manusia, tanpa melalui pergolakan batin yang dialami sepanjang proses kreatifnya sampai saat ini. Sejauh mana seseorang akan merelakkan dirinya untuk bertindak dalam mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya masing-masing (dalam bentuk tulisan). Kita telah menyaksikan, bahwa seseorang, terlebih di era media sosial, bisa sangat mudah membenci orang lain, tanpa sebab yang pasti. Orang-orang bisa membenci orang lain karena hal-hal sepele, tanpa meminta penjelasan yang lebih. Hingga pada akhirnya saling membenci dan mengabaikan karena perbedaan keyakinan, perbedaan cara pandang, ras, agama, aliran politik, bahasa, hingga gaya hidup dan cara berpenampilan.

Mungkin di titik inilah, kita harus kembali meletakkan tulisan Seno Gumira Ajidarma sebagai pemantik, bahan renungan bersama, jika belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia. Saya yakin, perenungan semacam ini, akan menuntun kita pada pemahaman konsepsi kemanusiaan dan apa itu manusia.

Dunia keseharian kita sudah sangat mencemaskan, terpecah-pecah karena urusan sepele. Kemudian kita menyangkut-pautkan dengan politik hingga makin runyam. Selalu aku berfikir dan menebak-nebak, sejauh mana seorang manusia akan tetap baik dan bijaksana dalam bersikap, berpandangan dan berhubungan? Saya merasa, saat ini, kita sedang krisis orang-orang yang bersedia melihat jauh ke dalam hati orang lain dan keseharian mereka. Tidakkah kita manusia yang kehilangan nilai kemanusian dalam diri kita sendiri? Tidak usah dijawab.

Saya tidak akan mengatakan kalau batin kita (mungkin) sudah mati, hingga kita menjelma manusia-manusia yang anti-empati. Tidak. Saya sudah cukup yakin, bahwa batasan-batasan seseorang dalam mempertahankan hubungan, menolong sesama dan bertenggang rasa, sangatlah tipis dan mudah hancur. Saya cuma ingin melihat dan merenungkan, kira-kira berapa lama kemanusiaan itu masih bisa ditegakkan dan benar-benar banyak dari kita yang mengamalkannya. Entah atas nama ideologi, agama, Tuhan, nilai, pacar, atau sesuatu yang dianggap baik.

Semua berawal dari kita, bagaimana kita melihat, menyikapi dan merepon realitas sosial, simbol, tanda-tanda atau peritiwa yang terjadi di sekitar. Ada cerita menarik dari Hidayat Raharja ketika pada suatu waktu ditanya oleh seorang temannya, kenapa dia melulu menulis tentang ikan dan laut? Dia menjawab dengan enteng, "karena saya belum selesai membaca laut dan ikan." sesimpel itu, tapi tidak sesederhana itu. Pelajaran yang harus kita ambil dan amalkan adalah: ketika kita membaca sesuatu, bacalah sampai selesai. Tulislah sampai selesai.

Penulis yang baik, tidak akan mampu menghindar dari kegiatan membaca. Entah itu membaca buku atau alam semesta. Itu sebabnya saya sepakat dengan tulisan penyair D. Zawawi Imron dalam esainya Sesirih Kapur: Senyuman Lembah Ijen. menurutnya, selain membaca buku, manusia juga perlu membaca alam semesta, karena alam semesta ini tak lain merupakan buku kenyataan yang perlu dibaca, dipelajari dan diambil manfaatnya, tetapi jangan dirusak agar tidak mengundang bala bencana. Buku yang berupa halaman kertas, bisa menjadi petunjuk untuk membaca dan mengenal alam secara lebih akrab. Dengan demikian, pada era moderen ini membaca buku dan membaca alam menjadi sama pentingnya.

Proses pembacaan itulah yang akan membawa kita menjadi (menuju) manusia yang seutuhnya manusia.

Sepanjang Hidayat Raharja menceritakan proses kreatifnya, ada satu kesamaan yang sangat mencolok dengan saya: sama-sama pernah nyolong buku di perpustakaan. Eh.

Sumenep, April, 2018.

*penulis kelahiran sumenep, saat ini hijrah ke semarang, mencari cita-cita.
logoblog

Thanks for reading MENULIS ITU PROSES, PROSES MENJADI MANUSIA.

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment